Kamis, 08 Januari 2009

Penghentian Monoterapi Artemisinin Mencegah Penyebarluasan Resistensi

Resistensi atau kekebalan parasit malaria (plasmodium) terhadap beberapa jenis obat anti malaria memang bukan merupakan hal baru. Contohnya yang terjadi pada kina atau klorokuin.
Resistensi parasit malaria ini juga terjadi terhadap obat anti malaria yang lain, yaitu artemisinin. Namun resistensi ini terjadi jika artemisinin digunakan sebagia monoterapi. Terkait dengan permasalahan tersebut, Organisasi Kesehatan Dunia, WHO beberapa wkatu lalu meminta agar dilakukan penghentian penggunaan artemisinin sebagai obat tunggal.
WHO meminta pabrik farmasi agar menghentikan pemasaran dan penjualan obat tunggal artemisinin untuk mencegah resistensi dari parasit malaria terhadap obat ini, seperti yang dilansir oleh situs resmi Organisasi Kesehatan Dunia tersebut.

Artemisinin yang digunakan secara benar, yaitu dikombinasikan dengan obat anti malaria lain melalui metode pengobatan Artemisininin Combination Therapies (ACTs) memang terbukti efektif. Dengan tingkat efektivitas mencapai 95 %, ACTs merupakan obat yang paling efektif yang kini ada untuk pengobatan malaria. Namun penggunaan artemisinin sebagai monoterapi ternyata berperan besar dalam perkembangan resisitensi plasmodium terhadap obat anti malaria. Artemsin sebagai monoterapi hanya memperlemah namun tidak membunuh parasit tersebut.

Oleh karena itu tidak berlebihan jika Direktur Jenderal WHO, Dr.Lee Jong-wook meminta agar produsen artemisinin menghentikan pemasaran obat tunggal artemisinin, dan digantikan dengan pemasaran terapi kombinasi artemsisin. " Sangat penting untuk diperhatikan agar artemisinin digunakan secara benar," kata Dr.Lee Jong-wook. Kami meminta kepada perusahaan farmsai untuk segera menghentikan pemasaran obat tunggal artemisinin dan digantikan dengan pemasaran terapi kombinasi artemisinin." Kata Dr. Lee. Selain meminta menggantikan pemasaran obat tunggal artemisinin, WHO juga memberikan solusi dengan mengumumkan panduan mengenai pengobatan terbaru. Panduan tersebut diharapkan dapat memberikan pedoman yang jelas kepada negara-negara di dunia dalam hal pemilihan pengobatan terbaik untuk malaria yang berlandaskan evidence-based.

Panduan tersebut menyatakan bahwa malaria falciparum yang tidak kompleks harus diobati dengan ACTs dan tidak dengan artemisinin saja, atau dengan pengobatan monoterapi lainnya. Menuurt Direktur Departemen Malaria WHO, Dr Arata Kochi. Sejauh ini, belum pernah dilaporkan adanya kegagalan pengobatan kombinasi ini akibat artemisinin, namun masih tetap dilakukan pengawasan secara intensif terhadap metode ini. "Kami peduli terhadap penurunan sensitifitas obat di Asia Tenggara yang merupakan wilayah tempat lahirnya resistensi terhadap obat antimalaria." imbuhnya.

Fenomena resistensi plasmodium terhadap obat anti malaria memang bukan untuk yang pertama kali. Di Thailand, sulfadoksin-pirimethamin (SP) hampir 100% efektif dalam menyembuhkan malaria ketika diperkenalkan pada tahun 1977. Namun, selama 5 tahun terakhir hanya 10% kasus yang dapat disembuhkan, karena adanya resistensi. Resistensi juga terjadi terhadap atovakuon berselang satu tahuan setelah diperkenalkan pada tahun 1997. Namun, selama 5 tahun terakhir hanya 10% kasus yang dapat disembuhkan, karena adnaya resistensi. Klorokuin yang kini diketahui telah kehilangan efektivitasnya hampir di seluruh belahan dunia, justru sempat digunakan oleh 95% anak-anak Afrika dari tahun 1999 hingga 2004.

Di tengah peliknya permasalahan resistensi, WHO memperkirakan hingga 25% obat yang dikonsumsi negara-negara berkembang merupakan obat tiruan atau tergolong sub standar. Di sebagian Afrika dan Asia jumlah ini melebihi 50%, berdasarkan laporan WHO tentang peredaran obat tiruan. Oleh karean itu, untuk mengendalikan sirkulasi dan penggunaan obat antimalaria tiruan, WHO merencanakan untuk memperkuat kerjasamanya dengan pemegang kebijakan kesehatann tingkat nasional dan internasional.

Sebagai upaya antisipasi terhadap peningkatan dan penyebarluasan resistensi parasit terhadap obat anti malaria dalam jangka panjang, kalangan peneliti malaria dan industri farmasi diharapkan dapat menginvestasikan dengan cepat seluruh sumber daya yang dimiliki dalam kegiatan pengadaan obat antimalaria di masa mendatang. Penerapan terapi ACTs dengan kombinasi multiobat dan komponen pencegah penularan, resistensi dapat dicegah. Selain upaya untuk menangkal potensi resistensi dalam jangka panjang, kini semakin dibutuhkan langkah untuk mengkondisikan agar pasien dapat diobati dengan obat yang aman dan efektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar